Jumat, 16 Januari 2015

WAKAF SEBAGAI PENGETAS KEMISKINAN



Hingga hari ini, kemiskinan tetap menjadi problematika mendasar yang harus dihadapi bangsa ‎Indonesia. Pemerintah dengan segala upaya untuk mengentaskan kemiskinan masih saja belum terlihat jelas hasilnya.
Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan diberbagai keadaan hidup yang menggambarkan kekurangan materi, biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan pendidikan. Menurut Bank Dunia orang dikatakan miskin apabila pendapatannya tidak lebih dari US $2 atau standart kemiskinan oleh BPS adalah ukuran pendapatan US $1 per hari.[1]
Melihat kenyataan sekarang, kita masih merasa prihatin. Sebagai contoh untuk membangun masjid, ada yang meminta sumbangan di pinggir jalan lewat kotak amal dari penumpang kendaraan yang lewat. Uang seratus, lima ratus, dan seribu rupiah diterima dengan rasa syukur oleh penerimanya. Belum lagi kita melihat orang meminta sumbangan dari rumah ke rumah untuk panti asuhan, pembangunan sekolah, dan sebagainya. Rumah yang didatangi rumah yang ada di wilayahnya, tetapi jauh ke daerah-daerah lain. Hal ini suatu pertanda, bahwa ekonomi masyarakat pada daerah itu masih lemah, sehingga membangun sekolah atau masjid pun terpaksa pergi ke tempat yang jauh. Padahal daerah yang didatanginya itu juga mempunyai masalah yang sama.[2]
Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini pemerintah belum cukup optimal membantu kelompok masyarakat bawah, khususnya kaum miskin agar mereka terangkat dari kemiskinan tersebut. Padahal masalah ini dapat diatasi, salah satu caranya dengan menggali potensi besar yang saat ini belum tergali maksimal sesuai syariat Islam yang mayoritas dianut penduduk Indonesia. Salah satu potensi yang dapat kita gali misalnya, melalui pemberdayaan fungsi dan perananan Shadaqah, Infaq dan Zakat. Ketiga sumber pendanaan umat Islam ini sebenarnya dapat dioptimalkan oleh pemerintah dan umat Islam sendiri, sehingga diharapkan Negara Indonesia juga dapat terhindar dari kondisi yang tidak bersih, tidak sehat dan tidak benar, sebagaimana yang terjadi saat ini[3].
Kata zakat secara etimologi berarti suci, berkembang dan barakah.[4] Dengan demikian, zakat itu membersihkan (menyucikan) diri seseorang dan hartanya, pahala bertambah, harta tumbuh (berkembang), dan membawa berkat. Sesudah mengeluarkan zakat (infak) seseorang telah suci (bersih) dirinya dari penyakit kikir dan tamak. Hartanya juga telah bersih, karena tidak ada lagi hak orang lain pada hartanya itu.[5]
Menurut istilah fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara.            [6]
Dari segi harta yang dibayarkan zakatnya, zakat berarti membersihkan harta dari hak fakir-miskin dan lain-lainnya yang melekat pada harta orang kaya. Dengan demikian, jika zakat tidak dibayarkan, ini berarti bahwa harta orang kaya itu dikotori oleh hak orang lain yang belum dibayarkan. Akan tetapi jangan lalu diartikan bahwa zakat adalah harta kotor sebab jika tidak demikian halnya, orang yang berhak menerima zakat menjadi tempat pembuangan harta kotor.[7]
Di pihak lain orang-orang yang berhak menerima zakat, kedudukan zakat sebagai hak fakir-miskin dan lain-lainnya yang melekat pada harta orang kaya itu akan menghilangkan rasa iri hati kaum fakir-miskin terhadap kaum kaya. Dengan adanya kewajiban zakat atas orang kaya itu jarak antara golongan kaya dan golongan miskin menjadi dekat. Pada golongan kaya tumbuh rasa wajib solider terhadap golongan miskin dan golongan miskin pun tanpa tuntutan akan menerima haknya yang melekat pada harta golongan kaya.
Akan tetapi harus dicatat bahwa dengan adanya kewajiban zakat atas golongan kaya itu tidak berarti bahwa Islam mendidik kaum fakir-miskin untuk selalu menantikan haknya pada harta golongan kaya. Islam mengajarkan agar setiap muslim bekerja untuk memperoleh kecukupan kebutuhan hidup diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya dan sekaligus Islam mencela orang yang menggantungkan diri pada kebaikan hati orang lain untuk memberi bantuan kepadanya.
Dari segi ekonomi kewajiban zakat merupakan salah satu jalan untuk merealisasi ajaran Islam tentang pemerataan pendapatan dan sekaligus mendorong para pemilik harta agar mengembangkannya untuk modal kerja. Nabi berpesan kepada para wali anak yatim yang dipercaya mengelola hartanya agar mengembangkan harta anak yatim yang dipercayakan kepadanya untuk menghindari jangan sampai harta itu habis dimakan zakat.
Al-Quran mengajarkan bahwa bumi langit seisinya adalah ciptaan Allah. Oleh karenanya Allah pulalah pemilik mutlak terhadap ciptaan-ciptaannya.
Meskipun demikian, Al-Quran pun mengakui adanya kepemilikan manusia terhadap harta yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan hidup dan melakukan berbagai amal kebajikan. Dihadapkan pada kemutlakan milik Allah atas segala ciptaan-Nya, kepemilikan manusia bersifat nisbi. Kenisbian milik manusia tercermin dalam aturan-aturan syara’ mengenai harta benda, baik menyangkut cara memperolehnya maupun cara membelanjakan. Apakah manusia menaati aturan-aturan tersebut atau tidak, manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di akhirat.
Dari sini kita dapat menanamkan kesadaran pada diri kita sendiri, bahwa membelanjakan harta sesuai petunjuk Allah pasti akan menyelamatkan pertanggungjawaban kita kepada Allah dan dalam saat yang sama akan mendatangkan keberuntungan kepada diri kita sendiri. Membelanjakan benda untuk kepentingan masyarakat akan memberi manfaat bagi masyarakat, tetapi juga memberi keuntungan bagi yang membelanjakan harta baik di dunia maupun di akhirat.[8]
Hidup bergaya mewah dinilai sebagai israf (melampaui batas) yang tidak disenangi Allah. Menghindari israf akan memberi kesempatan untuk membelanjan sisa harta kepada masyarakat. Jika infaq dilakukan dengan ikhlas pasti akan diganti oleh Allah, setidak-tidaknya sepuluh kali lipat, sesuai ajaran Al-Quran yang mengajarkan setiap kebaikan akan memperoleh kebaikan lipat sepuluh. Ganti yang dijanjikan Allah bagi orang yang membelanjakan harta di jalan Allah tidak hanya kelak di akhirat tetapi juga di dunia.[9]
Zakat, infak, sedekah serta wakaf merupakan potensi amal ummat Islam yang pada zaman Rasulullah SAW menjadi salah satu motor penggerak dakwah Islam di samping merupakan suatu kewajiban dan sunnah yang diajarkan oleh ajaran Islam melalui Rasulullah SAW.
Pada awal periode perkembangan Islam, telah dibuktikan bahwa potensi ziswaf ini menjadi motor yang efektif dalam mengatur gerak dakwah Islam. Baik pada segi perkembangan ekonomi umat, pelaksanaan sistem ekonomi syariah serta memiliki dampak terhadap masyarakat yang pada saat itu belum memiliki potensi ekonomi yang memadai. Hal ini dapat terlihat dari kilasan sejarah Rasulullah SAW dan Khalifatur Rasyidin dalam upaya-upaya pengumpulan ziswaf dan bahkan (pada masa) Khalifah Abi Bakar Asshidiq melakukan perang terhadap orang-orang yang menolak mengeluarkan kewajiban zakat.
Harus didirikan lembaga amil zakat dan pemberdayaan ummat yang berkhidmat mengangkat harkat martabat sosial kemanusiaan kaum dhuafa melalui dana ziswaf. Dengan dasar pendirian antara lain:
Pertama, Al-Qur’an Surat At-Taubat:60 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana”
Kedua, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ketiga, Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Keempat, Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Meskipun mayoritas penduduk negara ini beragama Islam, namun kenyataannya kewajiban menunaikan zakat pun masih belum sesuai dengan harapan. Selain hasil pengumpulannya yang masih relatif kecil, pengelolaannya juga belum dilakukan secara terorganisir, transparan, berjamaah, serta belum mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Maka dilakukanlah berbagai upaya untuk menjadikan zakat itu sebagai kewajiban dari tiap-tiap pribadi umat Islam yang dilaksanakan secara professional dan benar juga agar dapat diakui sebagai potensi pendanaan umat Islam. Ternyata perjuangan untuk mendapatkan pengakuan bahwa zakat sebagai potensi pemberdayaan ekonomi umat tersebut, selama ini menjadi sebuah perjuangan yang lama sekali dan tidak mengenal lelah.
Akhirnya pada pemerintahan yang lalu, telah berhasil diberlakukan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat. Dengan adanya Undang-Undang tersebut maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengatur sistem dan manajemen zakat yang dilaksanakan di Indonesia, karena di Indonesia belum terdapat sistem dan manajemen zakat yang baku. Selain tergantung pada aspek legal serta sistem dan prosedur yang akan dibangun maka untuk membangun suatu Lembaga Zakat agar berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan juga sangat tergantung kepada “The man behind the gun”, yaitu para pengelola atau Amilnya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar, akan tetapi, karena berbagai faktor, potensi zakat tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memberantas kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Laporan ini, oleh karenanya, akan menyorot perkembangan, pengelolaan, dan prospek zakat di Indonesia-khusunya yang dikelola oleh pemerintah atau institusi yang diakui oleh pemerintah-sebagai salah satu instrument yang diharapkan dapat menajdi senjata utama dalam memberantas kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial di tanah air tercinta.
Kemiskinan membawa pada kehinaan yang dilarang dalam Islam, dan menajdi sumber kejahatan dalam seluruh aspek kehidupan sosial-ekonomi. Institusi zakat adalah program pengentasan kemiskinan wajib dalam perekonomian Islam. Dampak zakat terhadap upaya pengentasan kemiskinan adalah sesuatu yang signifikan dan berjalan secara otomatis di dalam Islam. Terdapat beberapa alasan untuk ini:[10]
Pertama, penggunaan atau alokasi dana zakat sudah ditentukan secara pasti di dalam syariat Islam (QS At Taubat: 60) dimana zakat hanya diperuntukan bagi 8 golongan ashnaf saja. Al Quran menyebutkan fakir dan miskin sebagi kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat. Mereka inilah yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh Al Quran. Ini menunjujan bahwa mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat. Karakteristik ini membuat zakat sangat efektif sebagai instrument pengentasan kemiskinan karena secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted. Tak ada satupun instrument fiscal konvensional yang memiliki karakteristik seperti ini.
Kedua, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas peniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari asset fisik dan finansial serta keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan.
Ketiga, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlanjutan program pengentasan kemiskinan yang umumnya membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang.
Di Indonesia sendiri, potensi wakaf yang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Sehingga akhirnya tidak terjadi pembesaran manfaat secara luas. Seperti halnya tanah wakaf masyarakat sebagian besar hanya digunakan untuk fasilitas ibadah dan pendidikan saja. Belum terlihat pemanfaatan lebih optimal secara multifungsi terutama kemanfaatan ekonomis[11].
Potensi wakaf dapat sebenarnya dapat dioptimalkan yaitu dengan cara, setelah dana wakaf dihimpun, Pengelola Wakaf (Nadzir) dapat menginvestasikan dana yang dikumpulkan dalam berbagai portfolio investasi. Seperti:
1.      menginvestasikan dana pada produk bank syariah domestik dan bank syariah luar negeri;
2.      membiayai bisnis yang halal dan layak;
3.      mendirikan bisnis baru yang prospektif; atau
4.       membiayai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kemudian hasil keuntungan investasi dapat digunakan untuk berbagai program, seperti:
1.      Rehabilitasi keluarga miskin, melalui peningkatan kesejahteraan mereka.
2.      Pembangunan pendidikan dan budaya, melalui penyediaan buku gratis, pembiayaan penelitian dan pengembangan yang relevan, peningkatan program pendidikan, beasiswa, bantuan untuk sekolah, dan pembinaan nilai budaya.
3.       Sanitasi dan kesehatan, melalui program sanitasi dan kesehatan untuk keluarga miskin, pendirian pusat kesehatan gratis, dan penyediaan pengobatan yang murah dan berkualitas.
4.      Pembangunan saran pelayanan sosial.
5.      Pembangunan sarana aktivitas ibadah; dan.
6.      Pembangunan fasilitas sosial.
Dengan demikian, dana wakaf akan dapat mendorong penyediaan fasilitas publik sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana wakaf bersama dana zakat, jika disinergikan dengan baik akan sangat potensial untuk meredusir tingkat kemiskinan masyarakat.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar