Hingga hari ini, kemiskinan tetap menjadi problematika
mendasar yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Pemerintah dengan segala upaya
untuk mengentaskan kemiskinan masih saja belum terlihat jelas hasilnya.
Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan
kebutuhan, kesulitan dan kekurangan diberbagai keadaan hidup yang menggambarkan
kekurangan materi, biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan pendidikan. Menurut Bank Dunia
orang dikatakan miskin apabila pendapatannya tidak lebih dari US $2 atau
standart kemiskinan oleh BPS adalah ukuran pendapatan US $1 per hari.[1]
Melihat kenyataan sekarang, kita masih merasa prihatin.
Sebagai contoh untuk membangun masjid, ada yang meminta sumbangan di pinggir
jalan lewat kotak amal dari penumpang kendaraan yang lewat. Uang seratus, lima
ratus, dan seribu rupiah diterima dengan rasa syukur oleh penerimanya. Belum
lagi kita melihat orang meminta sumbangan dari rumah ke rumah untuk panti
asuhan, pembangunan sekolah, dan sebagainya. Rumah yang didatangi rumah yang
ada di wilayahnya, tetapi jauh ke daerah-daerah lain. Hal ini suatu pertanda,
bahwa ekonomi masyarakat pada daerah itu masih lemah, sehingga membangun
sekolah atau masjid pun terpaksa pergi ke tempat yang jauh. Padahal daerah yang
didatanginya itu juga mempunyai masalah yang sama.[2]
Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini pemerintah belum
cukup optimal membantu kelompok masyarakat bawah, khususnya kaum miskin agar
mereka terangkat dari kemiskinan tersebut. Padahal masalah ini dapat diatasi,
salah satu caranya dengan menggali potensi besar yang saat ini belum tergali
maksimal sesuai syariat Islam yang mayoritas dianut penduduk Indonesia. Salah
satu potensi yang dapat kita gali misalnya, melalui pemberdayaan fungsi dan
perananan Shadaqah, Infaq dan Zakat. Ketiga sumber pendanaan umat Islam ini
sebenarnya dapat dioptimalkan oleh pemerintah dan umat Islam sendiri, sehingga
diharapkan Negara Indonesia juga dapat terhindar dari kondisi yang tidak
bersih, tidak sehat dan tidak benar, sebagaimana yang terjadi saat ini[3].
Kata zakat secara etimologi berarti suci, berkembang dan
barakah.[4] Dengan demikian,
zakat itu membersihkan (menyucikan) diri seseorang dan hartanya, pahala
bertambah, harta tumbuh (berkembang), dan membawa berkat. Sesudah mengeluarkan
zakat (infak) seseorang telah suci (bersih) dirinya dari penyakit kikir dan
tamak. Hartanya juga telah bersih, karena tidak ada lagi hak orang lain pada
hartanya itu.[5]
Menurut istilah fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib
dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada orang yang
berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara. [6]
Dari segi harta yang dibayarkan zakatnya, zakat berarti
membersihkan harta dari hak fakir-miskin dan lain-lainnya yang melekat pada
harta orang kaya. Dengan demikian, jika zakat tidak dibayarkan, ini berarti
bahwa harta orang kaya itu dikotori oleh hak orang lain yang belum dibayarkan.
Akan tetapi jangan lalu diartikan bahwa zakat adalah harta kotor sebab jika
tidak demikian halnya, orang yang berhak menerima zakat menjadi tempat
pembuangan harta kotor.[7]
Di pihak lain orang-orang yang berhak menerima zakat,
kedudukan zakat sebagai hak fakir-miskin dan lain-lainnya yang melekat pada
harta orang kaya itu akan menghilangkan rasa iri hati kaum fakir-miskin
terhadap kaum kaya. Dengan adanya kewajiban zakat atas orang kaya itu jarak
antara golongan kaya dan golongan miskin menjadi dekat. Pada golongan kaya
tumbuh rasa wajib solider terhadap golongan miskin dan golongan miskin pun
tanpa tuntutan akan menerima haknya yang melekat pada harta golongan kaya.
Akan tetapi harus dicatat bahwa dengan adanya kewajiban
zakat atas golongan kaya itu tidak berarti bahwa Islam mendidik kaum
fakir-miskin untuk selalu menantikan haknya pada harta golongan kaya. Islam
mengajarkan agar setiap muslim bekerja untuk memperoleh kecukupan kebutuhan
hidup diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya dan sekaligus
Islam mencela orang yang menggantungkan diri pada kebaikan hati orang lain
untuk memberi bantuan kepadanya.
Dari segi ekonomi kewajiban zakat merupakan salah satu jalan
untuk merealisasi ajaran Islam tentang pemerataan pendapatan dan sekaligus
mendorong para pemilik harta agar mengembangkannya untuk modal kerja. Nabi
berpesan kepada para wali anak yatim yang dipercaya mengelola hartanya agar
mengembangkan harta anak yatim yang dipercayakan kepadanya untuk menghindari
jangan sampai harta itu habis dimakan zakat.
Al-Quran mengajarkan bahwa bumi langit seisinya adalah
ciptaan Allah. Oleh karenanya Allah pulalah pemilik mutlak terhadap
ciptaan-ciptaannya.
Meskipun demikian, Al-Quran pun mengakui adanya kepemilikan
manusia terhadap harta yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan hidup dan
melakukan berbagai amal kebajikan. Dihadapkan pada kemutlakan milik Allah atas
segala ciptaan-Nya, kepemilikan manusia bersifat nisbi. Kenisbian milik manusia
tercermin dalam aturan-aturan syara’ mengenai harta benda, baik menyangkut cara
memperolehnya maupun cara membelanjakan. Apakah manusia menaati aturan-aturan
tersebut atau tidak, manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak
di akhirat.
Dari sini kita dapat menanamkan kesadaran pada diri kita
sendiri, bahwa membelanjakan harta sesuai petunjuk Allah pasti akan
menyelamatkan pertanggungjawaban kita kepada Allah dan dalam saat yang sama
akan mendatangkan keberuntungan kepada diri kita sendiri. Membelanjakan benda
untuk kepentingan masyarakat akan memberi manfaat bagi masyarakat, tetapi juga
memberi keuntungan bagi yang membelanjakan harta baik di dunia maupun di
akhirat.[8]
Hidup bergaya mewah dinilai sebagai israf (melampaui batas) yang tidak disenangi Allah. Menghindari israf akan memberi kesempatan untuk
membelanjan sisa harta kepada masyarakat. Jika infaq dilakukan dengan ikhlas
pasti akan diganti oleh Allah, setidak-tidaknya sepuluh kali lipat, sesuai
ajaran Al-Quran yang mengajarkan setiap kebaikan akan memperoleh kebaikan lipat
sepuluh. Ganti yang dijanjikan Allah bagi orang yang membelanjakan harta di
jalan Allah tidak hanya kelak di akhirat tetapi juga di dunia.[9]
Zakat, infak, sedekah serta wakaf merupakan potensi amal
ummat Islam yang pada zaman Rasulullah SAW menjadi salah satu motor penggerak
dakwah Islam di samping merupakan suatu kewajiban dan sunnah yang diajarkan
oleh ajaran Islam melalui Rasulullah SAW.
Pada awal periode perkembangan Islam, telah dibuktikan bahwa
potensi ziswaf ini menjadi motor yang efektif dalam mengatur gerak dakwah
Islam. Baik pada segi perkembangan ekonomi umat, pelaksanaan sistem ekonomi
syariah serta memiliki dampak terhadap masyarakat yang pada saat itu belum
memiliki potensi ekonomi yang memadai. Hal ini dapat terlihat dari kilasan
sejarah Rasulullah SAW dan Khalifatur Rasyidin dalam upaya-upaya pengumpulan
ziswaf dan bahkan (pada masa) Khalifah Abi Bakar Asshidiq melakukan perang
terhadap orang-orang yang menolak mengeluarkan kewajiban zakat.
Harus didirikan lembaga amil zakat dan pemberdayaan ummat
yang berkhidmat mengangkat harkat martabat sosial kemanusiaan kaum dhuafa
melalui dana ziswaf. Dengan dasar pendirian antara lain:
Pertama, Al-Qur’an Surat At-Taubat:60 “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana”
Kedua, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Ketiga, Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan
UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Keempat, Keputusan Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji No.D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Meskipun mayoritas penduduk negara ini beragama Islam, namun
kenyataannya kewajiban menunaikan zakat pun masih belum sesuai dengan harapan.
Selain hasil pengumpulannya yang masih relatif kecil, pengelolaannya juga belum
dilakukan secara terorganisir, transparan, berjamaah, serta belum mengikuti
petunjuk Rasulullah SAW. Maka dilakukanlah berbagai upaya untuk menjadikan
zakat itu sebagai kewajiban dari tiap-tiap pribadi umat Islam yang dilaksanakan
secara professional dan benar juga agar dapat diakui sebagai potensi pendanaan
umat Islam. Ternyata perjuangan untuk mendapatkan pengakuan bahwa zakat sebagai
potensi pemberdayaan ekonomi umat tersebut, selama ini menjadi sebuah
perjuangan yang lama sekali dan tidak mengenal lelah.
Akhirnya pada pemerintahan yang lalu, telah berhasil
diberlakukan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat.
Dengan adanya Undang-Undang tersebut maka langkah selanjutnya adalah bagaimana
mengatur sistem dan manajemen zakat yang dilaksanakan di Indonesia, karena di
Indonesia belum terdapat sistem dan manajemen zakat yang baku. Selain
tergantung pada aspek legal serta sistem dan prosedur yang akan dibangun maka
untuk membangun suatu Lembaga Zakat agar berjalan sesuai dengan yang
dicita-citakan juga sangat tergantung kepada “The man behind the gun”, yaitu para pengelola atau Amilnya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam,
Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar, akan tetapi, karena
berbagai faktor, potensi zakat tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk memberantas kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Laporan ini, oleh karenanya, akan menyorot perkembangan, pengelolaan, dan
prospek zakat di Indonesia-khusunya yang dikelola oleh pemerintah atau
institusi yang diakui oleh pemerintah-sebagai salah satu instrument yang
diharapkan dapat menajdi senjata utama dalam memberantas kemiskinan dan
mewujudkan keadilan sosial di tanah air tercinta.
Kemiskinan membawa pada kehinaan yang dilarang dalam Islam,
dan menajdi sumber kejahatan dalam seluruh aspek kehidupan sosial-ekonomi.
Institusi zakat adalah program pengentasan kemiskinan wajib dalam perekonomian
Islam. Dampak zakat terhadap upaya pengentasan kemiskinan adalah sesuatu yang
signifikan dan berjalan secara otomatis di dalam Islam. Terdapat beberapa
alasan untuk ini:[10]
Pertama, penggunaan atau alokasi dana zakat sudah ditentukan
secara pasti di dalam syariat Islam (QS At Taubat: 60) dimana zakat hanya
diperuntukan bagi 8 golongan ashnaf saja. Al Quran menyebutkan fakir dan miskin
sebagi kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat. Mereka inilah
yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh Al Quran. Ini menunjujan bahwa
mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat. Karakteristik ini
membuat zakat sangat efektif sebagai instrument pengentasan kemiskinan karena
secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted. Tak ada satupun instrument
fiscal konvensional yang memiliki karakteristik seperti ini.
Kedua, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi
berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan
peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas peniagaan komersial, dan
barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan
memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari
asset fisik dan finansial serta keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi
zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi
pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan.
Ketiga, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh
setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung
stabil. Hal ini akan menjamin keberlanjutan program pengentasan kemiskinan yang
umumnya membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang.
Di Indonesia sendiri, potensi wakaf yang besar belum
dimanfaatkan secara optimal. Sehingga akhirnya tidak terjadi pembesaran manfaat
secara luas. Seperti halnya tanah wakaf masyarakat sebagian besar hanya
digunakan untuk fasilitas ibadah dan pendidikan saja. Belum terlihat
pemanfaatan lebih optimal secara multifungsi terutama kemanfaatan ekonomis[11].
Potensi wakaf dapat sebenarnya dapat dioptimalkan yaitu
dengan cara, setelah dana wakaf dihimpun, Pengelola Wakaf (Nadzir) dapat
menginvestasikan dana yang dikumpulkan dalam berbagai portfolio investasi.
Seperti:
1. menginvestasikan dana pada produk
bank syariah domestik dan bank syariah luar negeri;
2. membiayai bisnis yang halal dan
layak;
3. mendirikan bisnis baru yang
prospektif; atau
4. membiayai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Kemudian hasil keuntungan investasi dapat digunakan untuk
berbagai program, seperti:
1. Rehabilitasi keluarga miskin,
melalui peningkatan kesejahteraan mereka.
2. Pembangunan pendidikan dan budaya,
melalui penyediaan buku gratis, pembiayaan penelitian dan pengembangan yang
relevan, peningkatan program pendidikan, beasiswa, bantuan untuk sekolah, dan
pembinaan nilai budaya.
3. Sanitasi dan kesehatan, melalui program sanitasi dan
kesehatan untuk keluarga miskin, pendirian pusat kesehatan gratis, dan
penyediaan pengobatan yang murah dan berkualitas.
4. Pembangunan saran pelayanan sosial.
5. Pembangunan sarana aktivitas ibadah;
dan.
6. Pembangunan fasilitas sosial.
Dengan demikian, dana wakaf akan dapat mendorong penyediaan
fasilitas publik sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana
wakaf bersama dana zakat, jika disinergikan dengan baik akan sangat potensial
untuk meredusir tingkat kemiskinan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar