Dalam ayat al-Qur‟an
disebutkan bahwa orang-orang yang berhak dan berwenang untuk mengelola zakat
adalah petugas khusus yang ditunjuk oleh pemerintah atau penguasa dan negara
atau pemerintah bertanggung jawab penuh atas pengumpulan, pendayagunaan dan
pendistribusian hingga sampai 27 menentukan mustahiq (Shihab, 1994:326).
Pada awal islam
para „amil diangkat langsung oleh Rasulullah saw, tetapi pada masa pemerintahan
’Utsman r.a, kebijaksanaan pengumpulan zakat diubah. Karena pada masa ‘Utsman
harta kekayaan melimpah, dan demi kemashlahatan umum, beliau mengalihkan
wewenang pembagian kepada pemilik harta secara langsung. Keterlibatan para
penguasa dalam pengumpulan dan pembagian zakat berangsur-angsur berkurang. Hal
ini disebabkan, antara lain karena keengganan kaum muslim sendiri untuk
menyerahkan dengan alasan adanya para penguasa yang tidak islami, dan tidak
mustahil disebabkan juga karena keengganan para penguasa sendiri untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan berbagai pertimbangan (Shihab,
1994:327).
Di samping amil
zakat, menurut Masjfuk Zuhdi (1989:210) ada lagi sebuah lembaga yang mempunyai
tugas yang sama dengan amil zakat, yaitu baitul mal. Namun baitul mal
ini ada 4 (empat) macam, yakni:
a. Baitul
mal yang khusus mengelola zakat
b. Baitul
mal yang khusus mengelola pajak yang ditarik dari non muslim
c. Baitul
mal yang khusus mengelola rampasan perang dan barang temuan (rikaz)
d. Baitul
mal yang khusus mengelola harta benda yang tidak diketahui pemiliknya, termasuk
harta peninggalan orang yang tidak punya ahli waris.
Dalam bukunya, Fiqh
Al-Zakat, Yusuf Qardhawi (1991:745-747) memperinci pendapat beberapa mazhab
tentang penyerahan zakat kepada imam atau amil, yaitu sebagai berikut:
1.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa al-amwal
al-zhahirah harus diserahkan kepada imam, sedangkan al-amwal al-bathinah
terserah kepada pemilik harta.
2.
Mazhab maliki berpendapat bahwa pada dasarnya
zakat wajib diserahkan kepada imam yang adil. Imam Al-Qurthubi menambahkan
bahwa “kalau imam yang menerima bersifat adil (dalam penerimaan dan atau
pembagiannya), maka tidak dibenarkan si pemilik untuk membagi-baginya sendiri”.
3.
Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa “untuk
harta yang bersifat bathin, si pemilik dapat membagi-baginya sendiri.
Sedaang dalam bentuk zhahir, terdapat dua pilihan yaitu, ja’iz (boleh)
dan tidak. Kalau ja’iz (boleh), maka dapat diperselisihkan lagi, yaitu
apakah wajib atau tidak”.
4.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa “tidak
diwajibkan penyerahan dan pembagian oleh imam atau amil. tetapi apabila si
pemilik menyerahkan, maka kewajibannya telah gugur.
Sejarah
Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, pengelolaan zakat dilaksanakan oleh penghulu atau naib untuk menjaga
dari penyelewengan keuangan. Kemudian pada bijblad Nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905 berisi larangan bagi pegawai pemerintahan maupun priyayi bumi
putra untuk turut campur dalam pelaksanaan zakat. Politik tersebut tetap
berlaku di masa penjajahan Jepang, sampai masa Indonesia merdeka pengumpulan
zakat dilakukan oleh petugas-petugas urusan agama. Pengaturan zakat mengalami
perubahan sejalan dengan perpolitikan di Indonesia. Sehingga sampai tahun 1968
zakat dilaksanakan oleh umat Islam secara perorangan atau melalui kyai,
guru-guru ngaji dan juga melalui lembaga-lembaga keagamaan dan belum ada suatu
badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (Inoed dkk, 2005: 125 ).
Menurut Mursyid
(2006:11) proses pembentukan lembaga-lembaga pengelola zakat di Indonesia, pada
umumnya diilhami oleh pidato Presiden Soeharto, pada tanggal 26 Oktober 1968,
yaitu pada saat perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Merdeka Jakarta. Inti
dari isi pidato tersebut menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk kehidupan
duniawi dan ukhrawi serta dengan adanya mobilisasi zakat warga muslim dapat
membantu pembangunan ekonomi, sosial dan keagamaan.
Seruan tersebut
ditindaklanjuti dengan keluarnya surat Presiden Nomor 07/ PRIN/ 1968 tansggal
31 Oktober1968 yang memerintahkan Alamsyah, Azwar Hamid, dan Ali Afandi untuk
membantu presiden dalam administrasi penerimaan zakat seperti dimaksud dalam
seruan tersebut (Inoed dkk, 2005: 127). Perkembangan intervensi pemerintah
Indonesia dalam memberikan pendidikan manajemen zakat yang profesional terus dilaksanakan
hingga kini. Tercatat beberapa peraturan yang pernah dibuat diantaranya:
a. Undang-undang
nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
b. Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 581/ 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sebagai upaya menyadarkan masyarakat
muslim untuk menunaikan zakat.
c. Keputusan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/ 291
tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.
d. Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 373/ 2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pengganti Keputusan Menteri Agama RI
Nomor 581/ 1999.
e. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, pengganti
Undang-Undang nomor 38 Tahun 1999.
Lembaga
Pengelola Zakat
Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, organisasi pengelola zakat yang diakui oleh
pemerintah terdiri dari dua macam. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat Nasional dibentuk oleh pemerintah,
sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan oleh masyarakat.
1)
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Badan Amil Zakat
atau yang disingkat dengan BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan
tugas pengelolaan zakat secara nasional yang berkedudukan di ibu kota negara.
BAZNAS adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Dalam melaksanakan tugas, menurut
pasal 6 BAZNAS menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a) Perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
b) Pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
c) Pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
d) Pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Kepengurusan
badan ini terdiri dari 11 (sebelas) orang anggota, 8 (delapan) orang dari unsur
masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri
atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam. Untuk unsur
pemerintah ditunjuk dari kementerian/ instansi yang berkaitan dengan
pengelolaan zakat.
BAZNAS
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua. Masa kerja anggota BAZNAS
dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan. Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri. Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul
Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Sedangkan ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Untuk menjadi anggota BAZNAS, dalam
pasal 11 diatur persyaratan sebagai berikut:
a) Warga
negara Indonesia
b) Beragama
islam
c) Bertakwa
kepada Allah SWT
d) Berakhlak
mulia
e) Berusia
40 (empat puluh) tahun
f) Sehat
jasmani dan rohani
g) Tidak
menjadi anggota partai politik
h) Memiliki kompetensi di bidang pengelolaan
zakat
i) Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun.
Dalam pasal 12
(dua belas) dijelaskan, anggota BAZNAS akan diberhentikan apabila:
a) Meninggal
dunia
b) habis
masa jabatan
c) mengundurkan
diri
d) tidak
dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau tidak
memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Dalam pelaksanaan
pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS
provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas
usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS kabupaten/kota
dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota
setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ (Unit
Pengumpul Zakat) pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau
nama lainnya, dan tempat lainnya.
1)
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Seperti yang
dijelaskan di atas bahwa salah satu organisasi pengelola zakat yang diakui oleh
pemerintah adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) disamping Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS). LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas
membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dalam pasal 18
ayat 2, untuk membentuk LAZ maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Terdaftar
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial
b) Berbentuk
lembaga berbadan hukum
c) Mendapat
rekomendasi dari BAZNAS
d) Memiliki
pengawas syariat
e) Memiliki
kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya
f) Bersifat
nirlaba
g) Memiliki
program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat
h) Bersedia
diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar