Jumat, 16 Januari 2015

PENGELOLAAN ZAKAT



Dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang berhak dan berwenang untuk mengelola zakat adalah petugas khusus yang ditunjuk oleh pemerintah atau penguasa dan negara atau pemerintah bertanggung jawab penuh atas pengumpulan, pendayagunaan dan pendistribusian hingga sampai 27 menentukan mustahiq (Shihab, 1994:326).
Pada awal islam para „amil diangkat langsung oleh Rasulullah saw, tetapi pada masa pemerintahan ’Utsman r.a, kebijaksanaan pengumpulan zakat diubah. Karena pada masa ‘Utsman harta kekayaan melimpah, dan demi kemashlahatan umum, beliau mengalihkan wewenang pembagian kepada pemilik harta secara langsung. Keterlibatan para penguasa dalam pengumpulan dan pembagian zakat berangsur-angsur berkurang. Hal ini disebabkan, antara lain karena keengganan kaum muslim sendiri untuk menyerahkan dengan alasan adanya para penguasa yang tidak islami, dan tidak mustahil disebabkan juga karena keengganan para penguasa sendiri untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan berbagai pertimbangan (Shihab, 1994:327).
Di samping amil zakat, menurut Masjfuk Zuhdi (1989:210) ada lagi sebuah lembaga yang mempunyai tugas yang sama dengan amil zakat, yaitu baitul mal. Namun baitul mal ini ada 4 (empat) macam, yakni:
a.       Baitul mal yang khusus mengelola zakat
b.      Baitul mal yang khusus mengelola pajak yang ditarik dari non muslim
c.       Baitul mal yang khusus mengelola rampasan perang dan barang temuan (rikaz)
d.      Baitul mal yang khusus mengelola harta benda yang tidak diketahui pemiliknya, termasuk harta peninggalan orang yang tidak punya ahli waris.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Zakat, Yusuf Qardhawi (1991:745-747) memperinci pendapat beberapa mazhab tentang penyerahan zakat kepada imam atau amil, yaitu sebagai berikut:
1.      Imam Abu hanifah berpendapat bahwa al-amwal al-zhahirah harus diserahkan kepada imam, sedangkan al-amwal al-bathinah terserah kepada pemilik harta.
2.      Mazhab maliki berpendapat bahwa pada dasarnya zakat wajib diserahkan kepada imam yang adil. Imam Al-Qurthubi menambahkan bahwa “kalau imam yang menerima bersifat adil (dalam penerimaan dan atau pembagiannya), maka tidak dibenarkan si pemilik untuk membagi-baginya sendiri”.
3.      Mazhab Syafii berpendapat bahwa “untuk harta yang bersifat bathin, si pemilik dapat membagi-baginya sendiri. Sedaang dalam bentuk zhahir, terdapat dua pilihan yaitu, ja’iz (boleh) dan tidak. Kalau ja’iz (boleh), maka dapat diperselisihkan lagi, yaitu apakah wajib atau tidak”.
4.      Mazhab Hanafi berpendapat bahwa “tidak diwajibkan penyerahan dan pembagian oleh imam atau amil. tetapi apabila si pemilik menyerahkan, maka kewajibannya telah gugur.

Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, pengelolaan zakat dilaksanakan oleh penghulu atau naib untuk menjaga dari penyelewengan keuangan. Kemudian pada bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905 berisi larangan bagi pegawai pemerintahan maupun priyayi bumi putra untuk turut campur dalam pelaksanaan zakat. Politik tersebut tetap berlaku di masa penjajahan Jepang, sampai masa Indonesia merdeka pengumpulan zakat dilakukan oleh petugas-petugas urusan agama. Pengaturan zakat mengalami perubahan sejalan dengan perpolitikan di Indonesia. Sehingga sampai tahun 1968 zakat dilaksanakan oleh umat Islam secara perorangan atau melalui kyai, guru-guru ngaji dan juga melalui lembaga-lembaga keagamaan dan belum ada suatu badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (Inoed dkk, 2005: 125 ).
Menurut Mursyid (2006:11) proses pembentukan lembaga-lembaga pengelola zakat di Indonesia, pada umumnya diilhami oleh pidato Presiden Soeharto, pada tanggal 26 Oktober 1968, yaitu pada saat perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Merdeka Jakarta. Inti dari isi pidato tersebut menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk kehidupan duniawi dan ukhrawi serta dengan adanya mobilisasi zakat warga muslim dapat membantu pembangunan ekonomi, sosial dan keagamaan.
Seruan tersebut ditindaklanjuti dengan keluarnya surat Presiden Nomor 07/ PRIN/ 1968 tansggal 31 Oktober1968 yang memerintahkan Alamsyah, Azwar Hamid, dan Ali Afandi untuk membantu presiden dalam administrasi penerimaan zakat seperti dimaksud dalam seruan tersebut (Inoed dkk, 2005: 127). Perkembangan intervensi pemerintah Indonesia dalam memberikan pendidikan manajemen zakat yang profesional terus dilaksanakan hingga kini. Tercatat beberapa peraturan yang pernah dibuat diantaranya:
a.       Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
b.      Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581/ 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sebagai upaya menyadarkan masyarakat muslim untuk menunaikan zakat.
c.       Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/ 291 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.
d.      Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373/ 2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pengganti Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581/ 1999.
e.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, pengganti Undang-Undang nomor 38 Tahun 1999.

Lembaga Pengelola Zakat

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, organisasi pengelola zakat yang diakui oleh pemerintah terdiri dari dua macam. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat Nasional dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan oleh masyarakat.

1)      Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Badan Amil Zakat atau yang disingkat dengan BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional yang berkedudukan di ibu kota negara. BAZNAS adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Dalam melaksanakan tugas, menurut pasal 6 BAZNAS menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

a)      Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
b)      Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
c)      Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
d)     Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Kepengurusan badan ini terdiri dari 11 (sebelas) orang anggota, 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam. Untuk unsur pemerintah ditunjuk dari kementerian/ instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua. Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sedangkan ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Untuk menjadi anggota BAZNAS, dalam pasal 11 diatur persyaratan sebagai berikut:

a)      Warga negara Indonesia
b)      Beragama islam
c)      Bertakwa kepada Allah SWT
d)     Berakhlak mulia
e)      Berusia 40 (empat puluh) tahun
f)       Sehat jasmani dan rohani
g)      Tidak menjadi anggota partai politik
h)       Memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat
i)    Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana    penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Dalam pasal 12 (dua belas) dijelaskan, anggota BAZNAS akan diberhentikan apabila:

a)      Meninggal dunia
b)      habis masa jabatan
c)      mengundurkan diri
d)     tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.

Dalam pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.

1)      Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa salah satu organisasi pengelola zakat yang diakui oleh pemerintah adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) disamping Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dalam pasal 18 ayat 2, untuk membentuk LAZ maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a)      Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial
b)      Berbentuk lembaga berbadan hukum
c)      Mendapat rekomendasi dari BAZNAS
d)     Memiliki pengawas syariat
e)      Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya
f)       Bersifat nirlaba
g)      Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat
h)      Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar