Untuk mengetahui perjalanan historis zakat di
Indonesia, kita dapat melihatnya dari beberapa tahapan periodesasinya. Berikut
ini gambaran tentang tahapan-tahapan sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia.
Masa
Kerajaan Islam
Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, kemungkinannya memiliki spirit modern
yang kuat. Zakat dimaknai sebagai sebuah semangat (spirit) yang memanifestasi
dalam bentuk pembayaran pajak atas negara. Seorang cendikiawan muslim
kontemporer Indonesia, Masdar F. Mas’udi mengatakan, zakat pada mulanya adalah
upeti sebagaimana umumya berlaku dalam praktik ketatanegaraan zaman dulu. Hanya
saja, upeti yang secara nyata telah membuat rakyat miskin semakin tenggelam
dalam kemiskinannya, dengan spirit zakat lembaga upeti itu justru harus menjadi
sarana yang efektif bagi pemerataan dan penyejahteraan kaum miskin. Dengan kata
lain, lembaga upeti yang semula menjadi sumber kedzaliman, dengan spirit zakat
harus ditransformasikan menjadi wahana penciptaan keadilan.
Zakat sebagai konsep keagamaan, di
satu pihak, dan pajak sebagai konsep keduniawian, di pihak lain, bukanlah
hubungan dualisme yang dikotomis melainkan hubungan keesaan wujud yang
dialektis. Zakat bukan sesuatu yang harus dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi
dipersaingkan dengan pajak, melainkan justru merupakan sesuatu yang harus
disatukan sebagaimana disatukannya roh dengan badan atau jiwa dengan raga.
Zakat merasuk ke dalam pajak sebagai ruh dan jiwanya, sedangkan pajak memberi
bentuk pada zakat sebagai badan atau raga bagi proses pengejewantahannya.
Memisahkan zakat dari pajak adalah sama halnya dengan memisahkan spirit dari
tubuhnya, memisahkan bentuk dari essensinya.
Pemaknaan zakat dan pajak yang
sangat modernis semacam itu dapat kita lihat penerapannya pada masa
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Pada masa Kerajaan Islam Aceh, misalnya,
masyarakat menyerahkan zakat-zakat mereka kepada negara yang mewajibkan
zakat/pajak kepada setiap warga negaranya.3 Kerajaan berperan aktif dalam
mengumpulkan pajak-pajak tersebut, dan kerajaan membentuk sebuah badan yang
ditangani oleh pejabat-pejabat kerajaan dengan tugas sebagai penarik pajak atau
zakat. Pemungutan pajak ini dilakukan di pasar-pasar, muara-muara sungai yang
dilintasi oleh perahu-perahu dagang, dan terhadap orang-orang yang berkebun,
berladang, atau orang yang menanam di hutan. Karena itulah, banyak sekali macam
dan jenis pajak yang diberlakukan pada setiap sumber penghasilan dan
penghidupan warganya.
Kantor pembayaran pajak ini pada
masa kekuasaan kerajaan Aceh berlangsung di masjid-masjid. Seorang imam dan
kadi (penghulu) ditunjuk untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual
keagamaan. Penghulu berperan besar dalam mengelola keuangan masjid yang
bersumber melalui zakat, sedekah, hibah, maupun wakaf.
Sebagaimana Kerajaan Aceh,
Kerajaan Banjar juga berperan aktif dalam mengumpulkan zakat dan pajak. Pajak
tersebut dikenakan pada seluruh warga negara (warga kerajaan), baik yang
pejabat, petani, pedagang, atau pun lainnya. Jenis-jenis pajak yang berlaku
pada masa itu juga bermacam-macam, seperti pajak kepala, pajak tanah, pajak
padi persepuluh, pajak pendulangan emas dan berlian, pajak barang dagangan dan
pajak bandar. Yang menarik dicatat di sini, penarikan pajak terhadap
hasil-hasil bumi dilakukan setiap tahun sehabis musim panen, dalam bentuk uang
atau hasil bumi. Semua ini sesuai dengan praktek pembayaran zakat pertanian
dalam ajaran Islam.
Pembayaran pajak di kerajaan
Banjar ini diserahkan kepada badan urusan pajak yang disebut dengan istilah
Mantri Bumi. Orang-orang yang bekerja di Mantri Bumi ini berasal dari warga
kerajaan biasa namun memiliki skill dan keahlian yang mumpuni di bidangnya,
oleh karena itu mereka diangkat menjadi pejabat kerajaan.
Masa
Kolonialisme
Ketika bangsa Indonesia sedang berjuang melawan penjajahan Barat dahulu,
zakat berperan sebagai sumber dana bagi perjuangan kemerdekaan tersebut.
Setelah mengetahui fungsi dan kegunaan zakat yang semacam itu, Pemerintah
Hindia Belanda melemahkan sumber keuangan dan dana perjuangan rakyat dengan
cara melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi mengeluarkan zakat
harta mereka. Kebijakan Pemerintah Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Hindia Belanda ini menjadi batu sandungan dan hambatan bagi terselenggaranya
pelaksanaan zakat. Namun kemudian, pada awal abad XX, diterbitkanlah peraturan
yang tercantum dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28
Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini Pemerintah Hindia Belanda tidak akan lagi
mencampuri urusan pelaksanaan zakat, dan sepenuhnya pelaksanaan zakat
diserahkan kepada umat Islam.
Masa
Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi
perhatian para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi
Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat agama (pasal 29), dan pasal 34
UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
negara. Kata-kata fakir miskin yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas
menunjukkan kepada mustahiq zakat (golongan yang berhak menerima zakat).
Pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah.
Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian hasil
pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama.
Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan
Baitul Mal pada tahun 1964. Sayangnya, kedua perangkat peraturan tersebut belum
sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.
Perhatian Pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat sekitar tahun
1968. Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal
(Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya.
Namun pada tahun tersebut, Menteri Keuangan menjawab putusan Menteri Agama
dengan menyatakan bahwa peraturan mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam
Undang-undang, cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Karena ada respons
demikian dari Menteri Keuangan, maka Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor
1 Tahun 1968, yang berisi penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4
dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.
Masa
Orde Baru
Kepemimpinan Presiden Soeharto
memberikan sedikit angin segar bagi umat Islam dalam konteks penerapan zakat
ini. Sesuai anjuran Presiden dalam pidatonya saat memperingati Isra’ Mi’raj di
Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 maka dibentuklahn Badan Amil Zakat Infaq
dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak
itulah, secara beruntun badan amil zakat terbentuk di berbagai wilayah dan
daerah seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat
(1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan Lampung (1975), Kalimantan Selatan
(1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985).11
Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak
sama di setiap daerahnya. Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di
tingkat kabupaten seperti Jawa Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh
Kanwil Agama setempat. Karena itulah, mekanisme penarikan dana oleh lembaga
zakat ini bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi pengumpulan zakat fitrah
saja. Di DKI Jaya terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq dan
shadaqah. Dan di tempat-tempat lain masih meniru pola pada masa awal penyebaran
Islam, yakni menarik semua jenis harta yang wajib dizakati.12
Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Pada tahun
1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret
1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya
diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor
19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan
Instruksi Menteri Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah
yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga
keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar
menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun
1991 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah
yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991
tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan
Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah.13
Masa
Reformasi
Terbentuknya Kabinet Reformasi
memberikan peluang baru kepada umat Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali
menggulirkan wacana RUU Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih
diperjuangkan. Komisi VII DPR-RI yang bertugas membahas RUU tersebut. Penggodokan
RUU memakan waktu yang sangat panjang, hal itu disebabkan perbedaan visi dan
misi antara pemerintah dan anggota DPR. Satu pihak menyetujui apabila persoalan
zakat diatur berdasarkan undang-undang. Sementara pihak lain tidak menyetujui
dan lebih mendorong supaya pengaturan zakat diserahkan kepada masyarakat.14
Pada tahun 1999 Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
berusaha memajukan kesejahteraan sosial dan perekonomian bangsa dengan
menerbitkan Undang-ndang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Kemudian dikeluarkan pula Keputusan Menteri Agama nomor 581 tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimas
Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat.15
Semua undang-undang yang diterbitkan di atas
bertujuan untuk menyempurnakan sistem pelaksanaan zakat. Seperti pada masa
prakemerdekaan zakat sebagai sumber dana perjuangan, maka pada era reformasi
ini zakat diharapkan mampu mengangkat keterpurukan ekonomi bangsa akibat resesi
ekonomi dunia dan krisis multidimensi yang datang melanda. Bahkan sebagian
pihak menilai bahwa terbentuknya undang-undang pengelolaan zakat di Indonesia
merupakan catatan yang patut dikenang oleh umat Islam selama periode Presiden
B.J. Habibie.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5h-w3edDlvU9RikYrsZn8z68i15l2MqIaBaFd6Alr19jeAr5ICl-rBJPYLag2_S3lkiU6aZQIjDiANjHyJ87_a7V5SxcfP2J5YxgfkwQALtFvXDabsVJRxrJgXDJlMNfVTyzKbHbrLO4/s503/bisnis.png)
Pelaksanaan Zakat dalam Undang-undang No. 38 Tahun 1999
Pelaksanaan zakat yang telah
berlangsung selama ini di Indonesia dirasakan belum terarah. Hal ini mendorong
umat Islam melaksanakan pemungutan zakat dengan sebaik-baiknya. Berbagai usaha
telah dilakukan untuk mewujudkannya, baik oleh badan-badan resmi seperti
Departemen Agama, Pemerintah Daerah, maupun oleh para pemimpin Islam dan
organisasi-organisasi Islam swasta.
Pengelolaan zakat yang bersifat
nasional semakin intensif setelah diterbitkannya Undang-undang No. 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang inilah yang menjadi landasan
legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, pemerintah
(mulai dari pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga
pengelola zakat, yakni Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk tingkat pusat,
dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS ini dibentuk
berdasarkan Kepres No. 8/2001 tanggal 17 Januari 2001.
Sejarah Penlaksanaan Indonesia
Secara garis besar undang-undang zakat di atas memuat aturan tentang
pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan
profesional, serta dilakukan oleh amil resmi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Secara periodik akan dikeluarkan jurnal, sedangkan pengawasannya akan dilakukan
oleh ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian dan
kesalahan dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi bahkan dinilai
sebagai tindakan pidana. Dengan demikian, pengelolaan harta zakat dimungkinkan
terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan yang tidak bertanggungjawab. Di
dalam undang-undang zakat tersebut juga disebutkan jenis harta yang dikenai
zakat yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw., yakni hasil pendapatan
dan jasa. Jenis harta ini merupakan harta yang wajib dizakati sebagai sebuah
penghasilan yang baru dikenal di zaman modern. Zakat untuk hasil pendapat ini
juga dikenal dengan sebutan zakat profesi. Dengan kata lain, undang-undang
tersebut merupakan sebuah terobosan baru. BAZNAS memiliki ruang lingkup
berskala nasional yang meliputi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN,
Konsulat Jendral dan Badan Hukum Milik Swasta berskala nasional. Sedangkan
ruang lingkup kerja BASDA hanya meliputi propinsi tersebut. Alhasil, pasca
diterbitkannya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka pelaksanaan
zakat dilakukan oleh satu wadah, yakni Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk
Pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya
dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas-ormas maupun
yayasan-yayasan.
Hadirnya undang-undang di atas
memberikan spirit baru. Pengelolaan zakat sudah harus ditangani oleh Negara
seperti yang pernah dipraktekkan pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam,
zakat sebaiknya dipungut oleh negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil
dari golongan fakir miskin untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta
orang-orang kaya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu‘adz ibn
Jabal bahwa penguasalah yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung
maupun melalui perwakilannya, pemerintah bertugas mengumpulkan dan
membagi-bagikan zakat.
Sebelas tahun berjalan, berbagai
pihak merasakan kelemahan dari UU No 38/1999 dari beberapa sisi sehingga
menimbulkan semangat yang kuat untuk melakukan revisi UU tersebut.
Alhamdulillah, pada 25 November 2011 telah disahkan UU Nomor 23/2011 tentang
Pengelolaan Zakat yang baru. Beberapa kemajuan isi UU Nomor 23/2011
dibandingkan dengan UU Nomor 38/1999 antara lain sebagai berikut:
Badan/Lembaga Pengelola Zakat, Pengelola zakat dalam UU yang baru adalah
Baznas, Baznas provinsi dan Baznas kabupaten/kota, tidak ada lagi BAZ kecamatan.
Baznas diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri (pasal 10).
Dalam pasal 15 ayat 2, 3 dan 4 dinyatakan bahwa Baznas provinsi dibentuk oleh
menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan Baznas. Baznas
kabupaten/kota dibentuk menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul
bupati/wali kota setelah mendapat pertimbangan Baznas. Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota
tidak mengusulkan pembentukan Baznas provinsi atau Baznas kabupaten/kota, menteri
atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk Baznas provinsi atau kabupaten/kota
setelah mendapat pertimbangan Baznas. Sementara untuk menjangkau pengumpulan
zakat masyarakat untuk level kecamatan, kantor, masjid atau majelis taklim,
Baznas sesuai tingkatannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
sebagaimana diatur dalam pasal 16. Dengan adanya pengangkatan pengurus Baznas
provinsi oleh menteri dan gubernur untuk Baznas kabupaten/kota, diharapkan
muncul kemandirian dari badan amil zakat tanpa adanya intervensi dari
pemerintah daerah.
Hubungan antarbadan dan lembaga.
Dalam UU Nomor 38/1999, hubungan antarbadan dan lembaga pengelola zakat hanya
berifat koordinatif, konsultatif, informatif (pasal 6). Namun, dalam UU yang
baru pasal 29 dinyatakan bahwa hubungan antara Baznas sangat erat karena tidak
hanya bersifat koordinatif, informatif dan konsultatif, tetapi wajib melaporkan
pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas setingkat di
atasnya dan pemerintah daerah secara berkala. LAZ juga wajib melaporkan
pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas dan pemerintah
daerah secara berkala. Jika LAZ tidak melaporkan pengelolaan dana zakatnya
kepada Baznas dan pemerintah daerah secara berkala, atau jika tidak
mendistribusikan dan mendayagunakan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan
yang diikrarkan oleh pemberi dapat dikenakan sanksi administrasi berupa:
peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau, pencabutan
izin (pasal 36).
Akan ada peraturan pemerintah (PP) sebagai
aturan pelaksanaannya UU Nomor 38/1999 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Agama (KMA) Nomor 581/1999 dan diubah dengan KMA Nomor 373/2003. Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama satu tahun
terhitung sejak diundangkan.
Adanya hak amil untuk operasional. Dalam
pasal 30-32 secara eksplisit dinyatakan bahwa untuk operasional Baznas, Baznas
provinsi maupun Baznas kabupaten/kota dibiayai dengan APBN/APBD dan hak amil.
Ini memberikan angin segar dalam operasionalnya karena membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Ditambah lagi adanya beberapa tenaga khusus yang sengaja
direkrut untuk sekretariat BAZ. Bagaimana pola pengaturan dana antara APBD
dengan dana hak amil supaya tidak mengganggu perasaan muzakki, apalagi muzakki
yang masih ”muallaf”, tentu kearifan dari pengurus BAZ sangat diperlukan. Lagi pula, berapakah porsi hak amil yang
boleh digunakan untuk biaya operasional tentu masih menuggu keluarnya PP.
Adanya
sanksi bagi BAZ atau LAZ yang tidak resmi. Fenomena adanya badan/lembaga amil
zakat di luar ketentuan UU, boleh disebut bukan BAZ atau LAZ resmi. Mereka
mengumpulkan zakat masyarakat, namun tidak jelas penggunaannya. Tidak dibedakan
mana yang sedekah, infak, wakaf dan zakat. Nyaris semua uang yang terkumpul
digunakan untuk pembangunan masjid atau mushala. Padahal, zakat sejatinya untuk
pengentasan kemiskinan. Dalam UU Nomor 23/2011 Pasal 41, telah diatur sanksi
bagi mereka yang bertindak sebagai amil zakat, namun tidak dalam kapasitas
sebagai Baznas, LAZ atau UPZ, diberikan sanksi berupa kurungan paling lama 1
tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000.
Sanksi ini diharapkan tidak mucul lagi amil zakat yang tidak resmi,
sehingga dana zakat, infak, sedekah dan dana lain masyarakat dapat terkumpul
secara jelas, dan didistribusikan pula secara tepat kepada sasaran yang sudah
ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar