Dasar Hukum dan Mekanisme Zakat Sebagai Pengurang Pajak
1. Dalam
setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan
berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada
kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada
kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.
Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan bahwa setiap
pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung
selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka
wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
“Yang
tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak.”
Dalam
ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak
termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas
kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu.
Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang
juga diakui di Indonesia.
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan
atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a) zakat
atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b) sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.”
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011,
yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa
Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama
Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan
Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini
berjumlah 21 badan/lembaga.
2. Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia.
3. Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan
Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto sebagai berikut:
Pasal 2
(1). Wajib
Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib
melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2). Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a dapat
berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer
rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM),
dan
b paling sedikit memuat:
1) Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2) Jumlah pembayaran;
3) Tanggal pembayaran;
4) Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5) Tanda
tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti
pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6) Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a tidak
dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil
zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah;
dan/atau
b bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
(1). Pengurangan
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun
Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
tersebut.
(2). Dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan
untuk menentukan penghasilan neto.
|
Lebih jauh mengenai pelaporan pengurangan zakat atas penghasilan bisa Anda simak dalam salah satu artikel dari Kanwil DJP Jakarta Khusus.
Jadi,
sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat mengurangi pajak,
karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga
berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di
atas telah berlaku efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme
yang telah diaturnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
6. Peraturan
Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto;
7. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang
Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima
Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar